Minggu, 09 September 2012

Feel The Rain


“Some feel the rain, some just get wet.”
—Bob Marley

Saya merindukan hujan, sangat. Saya rindu tetesannya yang berjatuhan dari langit, suaranya yang mengenai benda-benda, basah yang ditimbulkannya, dan dingin yang menyertainya. Saya ingin menari di bawahnya, berputar-putar, tertawa. Seperti kanak dahulu. Saat hal paling pelik yang saya alami hanya menunggu kapan kelas berakhir agar saya bisa segera bermain. Sekarang pikiran saya dipenuhi berbagai macam kerumitan orang dewasa. Saya tidak bisa keluar rumah tanpa memastikan apakah saya sudah berdandan dengan cantik atau belum.

Sabtu, 21 Juli 2012

Antara Sore, Hujan, Kau, dan Pulang

Aku jatuh cinta pada sore. Benda-benda berpendar terkena cahaya matahari sore. Hangat. Rasanya sangat tenang. Rasanya aku bisa menyerahkan segalanya di sore hari. Aku akan duduk di sebuah bangku taman. Di belakangnya terdapat sebuah lampu jalan. Bangku itu diletakkan di tepi sebuah jalan setapak yang mengitari taman tersebut. Tidak lupa dengan pohon maple tumbuh berjejer rapi. Daun-daunnya yang menguning mulai berguguran.

Kali lain aku akan duduk di pinggir jendela kamarku. Memandang keluar. Matahari menyinari sebelah sisi wajahku. Hangat. Di depanku daun-daun dan bunga krisan bergoyang lembut tertiup angin sore. Sesekali aku akan menyapa orang-orang yang berlalu lalang. Seorang pengendara sepeda membunyikan belnya kala melihatku dan tersenyum. Aku membalasnya.

Sore ini aku pulang. Aku ingin menghabiskan sore bersamamu. Di beranda, ditemani secangkir teh dan seikat bunga yang kau beli untukku. Kita saling bertukar cerita sepanjang hari ini. Sesekali kita akan tertawa. Sesekali kita akan saling menatap lama. Sesekali kau akan menggenggam tanganku. Hangat.



Aku juga jatuh cinta pada hujan. Rasanya sangat indah melihat tetesan-tetesan air yang jatuh dari langit. Semuanya menjadi samar-samar. Suasananya seperti di sore hari. Aku memandangi tetesan-tetesan air yang mengalir turun di jendela kamarku. Aku langsung mengambil jas hujanku dan berlari keluar menyambut sang hujan. Aku berbaring di rerumputan yang basah sambil menutup mata. Ummm. Kadang aku akan melompat-lompat saking senangnya. Kadang aku akan menari-nari sambil berputar-putar. Dan aku paling suka hujan yang turun di bulan September dan Desember.


Suatu hari, saat malam turun di Glassgow, Perancis. Aku berjalan di sebuah jalan sepi dengan lampu jalan di sepanjang sisinya. Tidak ada kendaraan yang berlalu lalang. Hanya aku, hujan, dan lampu jalan yang menyala. Hujan baru saja mengguyur jalanan tersebut. Aspalnya masih terlihat basah. Sinar lampu jalanan terpantul di sepanjang jalan yang basah. Seperti bintang.


Kali lain aku berada di jalan-jalan di London. Keluar hanya untuk menikmati hujan. Aku sudah mengatakan pada ayah dan ibu, suatu hari aku akan pindah ke London dan menetap di sana. Aku jatuh cinta pada hujan yang mengguyur kota itu lebih besar daripada pemuda tampan yang menggunakan raincoat favoritku. Tapi sesekali aku akan tetap mengunjungi kota lain pada musim hujan.

Orang-orang akan berlari menghindari guyuran air hujan, tapi aku akan tinggal. Kalau kau tidak menarikku ke bawah naungan payungmu, aku akan memilih menikmati setiap tetesannya. Tapi karena kau sudah tahu, kau menyiapkan sebuah payung tak berwarna. Katamu, aku bisa berdiri di bawah hujan selama apa pun di bawah payung ini dengan kau memeluk pingganggku.



Aku mencintaimu. Kapan dan bagaimana? Aku juga tidak tahu. Seolah aku sudah mengenalmu seumur hidupku. Seolah aku memang sudah seharusnya mencintaimu.

Aku mencintaimu. Sebuah kalimat yang sangat sederhana—kata orang—tapi kenapa kau tidak mengerti. Katamu tidak sesederhana itu. Kita tidak bisa mengatakan bahwa kita mencintai seseorang begitu saja. Segala sesuatu membutuhkan penjelasan. Bahkan untuk sebuah kalimat sesederhana aku mencintaimu. Aku akan mengatakan kau sangat tampan. Saat kau tua—setampan apa pun dirimu—kau akan berubah menjadi lelaki keriput dengan kulit menggelambir. Aku harap perutmu tidak membuncit. Dan kau akan sangat jelek pastinya. Lalu aku harus berhenti mencintaimu karena kau tidak tampan lagi. Aku harus mencari alasan lain untuk tetap mencintaimu. Begitu seterusnya karena aku mencintaimu. Lalu untuk apa alasan itu?



Orang-orang lebih sering memimpikan pulang ke rumah daripada meninggalkan rumah. Saat kau pergi terlalu jauh kau hanya ingin pulang. Saat kau pergi terlalu lama kau hanya ingin pulang. Saat dunia mengabaikanmu kau hanya ingin pulang. Saat kau merindukan seseorang kau hanya ingin pulang. Saat keberuntungan tidak lagi berpihak padamu kau hanya ingin pulang. Saat kau lelah kau hanya ingin pulang. Saat sore tiba kau hanya ingin pulang.

Pulang ke sebuah tempat yang kita sebut rumah. Tempat segala penerimaan akan kau terima. Tempat segala kehangatan akan kau rasakan. Tempat segala kelelahan akan terhapuskan. Tempat segala luka akan terobati. Tempat yang tidak akan pernah kau lupakan, sejauh apa pun langkah membawamu pergi jauh meninggalkannya. Selalu ada tempat untuk pulang.

Kau dan aku juga akan pulang suatu hari nanti. Tapi mungkin aku akan lebih dulu pulang. Dan aku akan menunggumu. Kau bilang kau tidak tahu kapan kau akan pulang. Tapi aku akan tetap menunggumu. Sampai jumpa di rumah.



Sekarang sudah sore. Tiba-tiba hujan turun. Aku merindukanmu. Lalu aku pulang.