Sabtu, 16 Januari 2010

Suatu Hari

“Whoahhhmm…” walaupun masih mengantuk Sheva akhirnya bangun juga. Ya, mau tidak mau Sheva harus membiasakan dirinya bangun pagi sebelum ayam berkokok, bahkan semua tetangganya masih terlelap pulas di rumahnya masing-masing. Seperti biasa Sheva harus membantu ibunya membuat adonan kue atau menggoreng pisang dan ubi untuk dijual paginya di pasar maupun dititipkan di kantin sekolahnya.

Sejak ayahnya meninggal, Sheva harus membantu ibunya berjualan untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Di samping itu, ibunya juga menerima jahitan untuk membiayai sekolah Sheva dan adiknya yang masih SMP, Danu.

“Bu, kenapa sih kita mesti kerja keras kayak gini? Kan kita punya eyang yang kaya. Kenapa kita tidak tinggal di rumahnya saja?” Sheva mulai membayangkan rumah besar eyangnya. Dulu ibunya sering mengajaknya ke sana.

“Hush… ngawur aja. Tuh pisangnya nanti gosong. Tidak ada yang akan membeli pisang gosong.” Ibunya membuyarkan lamunan Sheva. Ibunya memang selalu mengalihkan pembicaraan kalau ditanya soal eyangnya. Ibunya selalu beralasan bahwa mereka sudah terlalu banyak merepotkan eyangnya.

“Tapi, Bu, ki—”

“Sudah, sana bangunkan adikmu. Jangan lupa siapkan sarapan untuknya!” potong ibunya.

“Ah… Ibu.” 

Dengan enggan Sheva menuju kamar adiknya. Benar juga kata ibunya. Dengan membiarkan Sheva sekolah di SMA Bumi Putera, sebuah yayasan sekolah milik eyangnya saja sudah seharusnya disyukuri Sheva. Selain sebagai salah satu SMA favorit di kotanya mereka tidak perlu mengeluarkan uang untuk membayar SPP dan kegiatan ekstrakurikuler.

“Jangan lupa jualannya dititip dulu di kantin dan belajar yang rajin kalian berdua!” pesan ibunya pada Sheva dan adiknya.

“Ya, Bu! Sheva berangkat dulu!” Sheva mencium tangan ibunya dan bergegas pergi. 

Hari ini Sheva ada tugas piket dan tidak mau telat menyelesaikannya sebelum ada yang datang karena tidak ada gunanya membersihkan kelas di waktu yang lain sudah datang.

“Danu juga berangkat, Bu!”

~oooo~

Tanpa mereka sadari ada yang memperhatikan mereka dari jauh. Orang tersebut turun dari mobilnya dan menghampiri Sarah, ibunda Sheva yang sedang mengunci pintu.

“Sudah kukatakan berkali-kali padamu dulu untuk tidak menikah dengan Suherman si Pegawai Pos rendahan itu. Lihat akibatnya, bahkan setelah matinya pun dia masih menyusahkanmu.”

Ibu Sarah sebenarnya kaget, tapi dia sudah hapal pemilik suara yang menegurnya, bibi Leliana, eyang Sheva. “Jangan bilang begitu dong, Bi. Suami saya sudah lama meninggal, untuk apa lagi dijelek-jelekkan.”

“Laki-laki macam begitu masih kau bela. Lihat anakmu, Sheva, setiap hari menitipkan jualan di sekolah. Dikiranya aku sudah tidak punya uang lagi untuk memenuhi kebutuhannya. Di mana mau kutaruh wajahku di depan orangtua murid yang lain? Kalau kau memang tidak mau menerima bantuanku, tidak apa-apa. Tapi biarkan Sheva tinggal bersamaku.”

“Saya masih mampu kok merawatnya.”

“Mampu bagaimana? Kalau tiap hari harus menenteng jualan ke sekolah. Malu aku, malu aku Sarah…”

Yang ditanya hanya mampu tertunduk, sementara sang Eyang berlalu pergi dengan membawa kemarahannya yang tertahan.

~oooo~

“Kemarin Mami ketemu Maminya Cathy lho di arisan. Katanya kamu dekat ya sama Cathy? Gitu dong, Sayang…” ibunda Kevin memulai wejangannya.

“Mami, Kevin itu teman satu sekolah, sekelas malah sama Cathy, sama teman yang lain juga Kevin akrab.”

“Bagus, deh. Keluarga kita dengan keluarga tante Engga kan selevel, gak kayak siapa tuh teman kamu yang—”

Ibu Kevin belum selesai bicara Kevin langsung memotong kalimat ibunya, “Mami, Sheva itu cucunya pemilik Yayasan. Dia bisa seperti Cathy, tapi dia gak gila harta. Sheva tetap cantik kok walaupun tidak memakai make up seperti Cathy atau pakai pakaian mahal buatan desainer terkenal. Lagian apa salahnya kalau kita miskin?” Kevin mencoba membela Sheva.

“Tetap saja dia lebih memilih tinggal di gubuk dan menjual gorengan. Mami gak setuju kalo kamu dekat sama dia. Cathy juga cantik, kok, Sayang…” ibunya masih mencoba merubah pemikiran anaknya.

“Ma… kita udah ngebahas ini berulang kali. Kevin capek, Ma. Pokoknya, apapun yang Mami bilang atau gimanapun cantiknya Cathy, gak bakalan ngerubah perasaan Kevin ke Sheva. Lagian Kevin bukan suka cantik wajahnya, tapi Sheva itu lain dari cewek kebanyakan. Kevin suka pribadi Sheva, Ma,” Kevin kembali menegaskan pilihan hatinya.

Ibu Kevin sebenarnya masih ingin berdebat, tetapi Kevin lebih dulu pamitan, “Kevin berangkat, Ma.”

~oooo~

Sheva baru saja tiba di sekolah. Dia segera menuju kantin untuk menitipkan jualannya. Tiba-tiba seseorang menyenggolnya dari belakang dan dia mendengar suara cekikikan. Walaupun dia memeluk keranjang yang berisi gorengannya, keranjang itu bergerak turun dari pelukannya, beruntung ada orang yang menangkap keranjang tersebut sebelum isinya berhamburan di lantai. Sheva sangat kaget akan kejadian tersebut, tetapi segera ingat untuk berterima kasih kepada penolongnya.

“Makasih ya, Vin.”

“Sama-sama,” sambil menyerahkan keranjang gorengan kembali kepada Sheva, Kevin menunggunya sambil berdiri di belakangnya.

Sheva yang sudah menitipkan gorengannya berbalik dan mulai berjalan meninggalkan Kevin tanpa melirik pada lelaki itu. Kevin yang sudah menunggu kesempatan untuk berbicara dengan Sheva segera menahan perempuan itu dengan memegang tangannya. “Kita perlu bicara.”

“Kita? Aku tidak punya hal untuk kubicarakan denganmu. Aku harus segera ke kelas untuk menyelesaikan tugas piketku, dan tolong lepaskan tanganku!”

Kevin meringis tertahan dan dengan enggan melepaskan tangan Sheva. “Baiklah, tapi aku harus—aku ada sesuatu yang harus kusampaikan kepadamu.”

“Tidak sekarang.”

“Kapan kalau begitu?”

“Aku tidak tahu, aku tidak—aku,” Sheva mendesah tetapi dia harus segera menghentikan percakapan dan situasi konyol ini, “aku harus segera pergi ke kelas.” Sheva bergegas dan kali ini tidak menghiraukan sama sekali panggilan Kevin. Aku masih harus menyelesaikan tugas piketku, belajar, dan pulangnya menuju pasar membantu ibu berjualan. Aku tidak punya waktu untuk hal seperti ini. Pikirnya dalam hati.

Sheva tidak buta dan dia juga tidak bodoh. Dia tahu apa yang akan disampaikan Kevin kepadanya dan bisa melihat perhatian-perhatian yang diberikan lelaki itu padanya. Hal itu sangat jelas tergambar pada cara lelaki itu memperlakukannya. Tapi sejelas perasaan Kevin terhadapnya, Sheva punya masalah yang sudah cukup rumit tanpa perlu ditambah masalah Kevin dan perasaannya.

~oooo~

Tak terasa sang waktu melewati hidupnya
Tanda pagi menjelang mengganti malam
—AIR (Bintang)